Di awal tahun 2020, sebagian wilayah Jabodetabek justru diserang banjir besar. Data yang dihimpun oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan bahwa per 4 Januari 2020, banjir telah merendam sebanyak 308 kelurahan dengan ketinggian air mencapai 6 meter. Banjir tersebut telah memakan korban jiwa sebanyak 60 orang dan menyebabkan sebanyak 92.621 orang mengungsi. Banjir seakan-akan telah menjadi bencana alam yang terjadi tiap tahunnya. Tapi, bagaimana sebenarnya sejarah banjir di Indonesia, khususnya di Ibukota?
Ternyata, banjir di Jakarta merupakan masalah lama. Daerah Ibukota sendiri sudah menghadapi banjir sejak tahun 1600-an, ketika Belanda menjajah Indonesia. Saat itu, Jan Pieterszoon Coen menjabat sebagai Gubernur Jenderal VOC dan membangun kanal dan sodetan Kali Ciliwung untuk mengatasi banjir di Batavia. Hanya saja, usahanya tidak memberikan hasil yang memuaskan.
Banjir besar pernah terjadi di Batavia tahun 1918, yaitu di masa pemerintahan Gubernur Jenderal VOC Johan Paul van Limburg Stirum. Banjir tersebut merendam sarana transportasi, termasuk lintasan trem listrik. Untuk menangkalnya, Stirum membangun Kanal Banjir Barat di tahun 1920. Kanal Banjir Barat dibangun mulai dari Pintu Air Manggarai sampai Muara Angke.
Di tahun 1918, pemerintah Belanda membentuk Department van Burgerlijke Werken (BOW) yang salah satu tugasnya adalah untuk mencegah banjir. Di tahun 1933, tugas tersebut kemudian diserahkan pada Gemeentewerken, yaitu badan yang mengurus perhubungan dan perairan tingkat kotapraja.
Untuk menanggulangi banjir di daerah Jembatan Lima, Blandongan, dan Klenteng, pemerintah Belanda telah menyisihkan uang sebesar 25 ribu gulden. Puncaknya adalah di tahun 1913 hingga 1930. Belanda bahkan pernah mengeluarkan 288.292 gulden di tahun 1927 untuk pengendalian banjir.
Sejarah banjir di Indonesia tidak berhenti di situ. Selepas kemerdekaan, masalah banjir masih menjadi perhatian di tahun 1965. Pemerintah membentuk Komando Proyek Pencegahan Banjir yang berganti nama menjadi Proyek Pengendalian Banjir Jakarta Raya di tahun 1972.
Ganti Gubernur bukan jaminan
Ali Sadikin sebagai Gubernur DKI Jakarta saat itu bekerja sama dengan Netherlands Engineering Consultants untuk membangun waduk dalam kota. Selain itu, mereka juga membuat saluran Cengkareng dan Cakung. Meski begitu, banjir besar masih menyerang Jakarta di tahun 1976.
Memasuki milenium baru, Jakarta yang berada di bawah kepemimpinan Sutiyoso kembali diterjang banjir besar di tahun 2002. Di tahun 2007, banjir yang melanda Jakarta lebih besar dan memakan lebih banyak korban jiwa. Tercatat sebanyak 80 orang tewas akibat bencana tersebut. Kerugian materialnya mencapai triliunan rupiah dan sebanyak 320.000 ribu jiwa terpaksa mengungsi. Tanggul Banjir Kanal Barat aliran Kali Sunter jebol akibat banjir.
Banjir besar kembali menyerang Jakarta di tahun 2013, yaitu di masa Gubernur Joko Widodo. Sebanyak 20 orang tewas dan 33.500 orang harus mengungsi. Kawasan Sudirman, termasuk Bundaran Hotel Indonesia tergenang akibat tanggul Kali Cipinang.
Pergantian gubernur rupanya masih belum berhasil menangani masalah banjir di Ibukota. Di awal tahun 2020, wilayah Jakarta dan sekitarnya dilanda banjir besar. Sejarah banjir di Indonesia yang masih berlanjut ini diduga disebabkan oleh beberapa faktor. Bintang Rahmat Wananda sebagai ahli geospasial menyebut bahwa minimnya resapan air di daerah selatan Jakarta menjadi salah satunya. Selain itu, Jakarta memiliki sistem drainase yang buruk di hilir karena hanya bergantung pada kanal yang mengandalkan gravitasi. Jakarta juga tidak memiliki ruang terbuka biru sebagai tempat parkir air sebelum dialirkan ke laut.