Fenomena terjadinya brain drain banyak dirasakan oleh negara negara berkembang sejak jaman dahulu. Ada banyak ragam yang melatarbelakangi terjadinya fenomena ini, mulai dari sosial, ekonomi, politik dan budaya. Bahkan, Indonesia pun tidak luput dari fenomena brain drain, apa ini?
Dalam sejarahnya, fenomena berpindahnya tenaga ahli menuju negara maju dengan istilah brain drain pertama kali digunakan oleh British Royal Society, yaitu peristiwa ledakan para ilmuan dari inggris yang berpindah menuju Amerika Serikat dan kanada yang terjadi pada sekitar tahun 1950an dan 1960an.
Migrasi internasional kini semakin menjadi permasalahan yang menyita perhatian banyak pihak, termasuk Pemerintah Indonesia. Sejatinya, bagi mereka yang mempunyai bakat dan keahlian yang tinggi menjadi aset berharga suatu negara agar bisa berdaya saing dengan dunia internasional.
Namun apa daya, mereka justru tidak memiliki kesempatan atau diwadahi dengan benar atau bahkan merasa dihargai keahliannya di dalam negeri. Terlebih, percaturan politik yang dianggap tidak menentu membuat mereka yang memiliki keahlian lebih memilih untuk bermigrasi ke luar negeri yang dianggapnya memiliki potensi lebih untuk bisa berkembang.
Akibatnya, gelombang brain drain dari negara-negara berkembang semakin menguat. Munculnya diaspora yang sangat luas adalah sebuah konsekuensi dari perburuan terhadap kesempatan terbaik bagi negara berkembang.
Apa itu brain drain?
Secara sederhana brain drain atau human capital flight merupakan hengkangnya kaum intelektual, ilmuwan, cendikiawan dari negerinya sendiri dan menetap di luar negeri. Alasan yang melatarbelakanginya juga bisa beragam. Ada alasan politis, ekonomi, sosial budaya, dan juga pilihan hidup. Selain pertimbangan minimnya peluang dan keterbatasan berkarya di negara asal.
Baca juga: Apa Itu Brainstorming?
Jadi brain drain dalam kadar tertentu, bisa merugikan negara asal, karena ada potensi aset SDM terbaiknya yang hilang. Sebaliknya, hal tersebut menguntungkan bagi negara baru yang dipilih, karena negara yang dipilih mendapat sumber daya manusia (SDM) terbaik.
Ini merupakan fenomena yang sudah banyak terjadi di berbagai negara, baik di negara maju maupun negara-negara berkembang. Negara yang mengalami fenomena ini antara lain Cina, India, Rusia, Yunani, dan Malaysia. Keempat negara tersebut merupakan negara yang tingkat migrasinya tinggi, dimana yang melakukan migrasi tersebut adalah tenaga kerja intelektual.
Menurut literatur klasik tahun 1950-an sampai tahun 1980-an negara yang menerima tenaga kerja berkualitas dari luar negeri akan diuntungkan sedangkan negara yang mengirimkan tenaga kerja tersebut telah kehilangan SDM yang berkualitas.
Faktor Brain Drain
Migrasi yang dilakukan oleh penduduk yang berpendidikan atau berketerampilan sering disebut sebagai fenomena Brain Drain. Alasan bagi seseorang yang memilih untuk melakukan migrasi internasional, tentu karena terdapat faktor pendorong dan penariknya.
Faktor pendorong:
- Tingkat pendapatan yang rendah dan kurangnya fasilitas dan prasana penelitian,
- Faktor kenyamanan kerja yang rendah dan kebebasan berkarya yang terbatas.
- Adanya keinginan untuk memperoleh pengakuan dan kualifikasi yang tinggi dibandingkan negara asal.
- Ekspektasi karir yang lebih baik daripada di negara asal, kondisi politik dalam negeri dan diskriminasi jabatan.
- Perbedaan kondisi geografis dan etnis tertentu menjadi faktor penentu atas preferensi untuk melakukan migrasi sebagai bagian dari norma sosial ekonomi mereka.
Faktor penarik brain drain antara lain:
- Prospek kehidupan ekonomi yang lebih baik, lebih banyak fasilitas pendidikan, penelitian dan teknologi yang tersedia.
- Kesempatan kerja dan pengalaman kerja yang lebih tinggi dan tingginya budaya akademis di negara tujuan.