Saat ini, tak sedikit anak muda menghuni daftar orang paling berpengaruh di dunia, beberapa bahkan tergolong anak-anak. Terlepas dari popularitas atau pencapaian yang mungkin telah diraih, pengaruhnya terhadap banyak komunitas di masyarakat adalah sesuatu yang tak bisa dipandang sebelah mata.
Mereka adalah anak-anak muda dengan kualifikasi yang luar biasa, seperti artis, penemu hingga aktivis.
Sementara saat ini nama-nama seperti Greta Thunberg dan Autumn Peltier yang berusia belasan telah mengubah dunia dengan aksinya memerangi pemanasan global, berpuluh-puluh tahun yang lalu sejumlah anak telah memenuhi lembar demi lembar buku sejarah dengan berbagai cerita inspiratif tentang kehadirannya yang mengubah dunia.
Nah, siapa saja kira-kira anak-anak paling berpengaruh dalam sejarah itu? Berikut enam diantaranya, sebagaimana dilansir dari worldatlas:
Wolfgang Amadeus Mozart (1756-1791)
Lahir di Austria pada 1756, Mozart adalah putra seorang komposer, pemain biola, dan asisten master konser yang sukses di Salzburg. Dia belajar memainkan harpsichord — instrumen mirip organ — pada usia tiga tahun dan menggubah karya musik pertamanya yang diterbitkan pada usia lima tahun. Di tahun yang sama, ia juga mulai bermain untuk publik, termasuk tur melakukan keliling Eropa.
Di usia remaja, Mozart telah menulis beberapa konser, sonata, opera, dan simfoni. Total, ia menulis lebih dari 600 karya musik sebelum akhirnya meninggal pada usia 35 tahun.
Shirley Temple (1928-2014)
Anggota gen Z mungkin tidak akan familiar dengan sosok Shirley Temple, lain halnya dengan para orang tua mereka. Temple adalah bintang cilik paling populer di Hollywood (sekitar tahun 1940an), mungkin hingga saat ini. Ia mendapatkan peran pertamanya di usia tiga tahun, sebelum akhirnya memenangkan Academy Award khusus untuk “Outstanding Personality” lewat Bright Eyes.
Saking spesialnya Shirley Temple, presiden Franklin D. Roosevelt bahkan menjulukinya “Nona Kecil Ajaib” karena dinilai memberikan secercah optimisme di tengah kesulitan ekonomi saat itu.
Samantha Smith (1972-1985)
Samantha Smith adalah seorang anak yang hidup di tengah perang dingin, ketika ia akhirnya (di usia 10 tahun) menulis surat kepada Yuri Andropov, Sekretaris Jenderal Partai Komunis Uni Soviet, dan menyarankan agar Rusia dan Amerika mengesampingkan perbedaan mereka serta hidup berdampingan dengan damai.
(Baca juga: Berkenalan dengan 5 Penemu yang Mengubah Dunia)
Tersentuh oleh kata-katanya, Andropov pun mengundang Smith dan keluarganya untuk mengunjungi Uni Soviet, yang menarik banyak minat internasional dan memberinya peran sebagai “Duta Besar Termuda Amerika.” Setelah kunjungannya, Smith melaporkan kembali bahwa orang Rusia tampaknya tidak jauh berbeda dari orang Amerika. Dia lantas mengejar karir di bidang akting sebelum terlibat dalam kecelakaan pesawat yang fatal pada tahun 1985. Dia baru berusia tiga belas tahun saat itu.
Ruby Bridges (1954-sekarang)
Saat Lousiana dan New Orleans memisahkan diri pada tahun 1959, Ruby Bridges menjadi siswa kulit hitam pertama yang menghadiri Sekolah Dasar William Frantz yang sebelumnya hanya dihuni orang kulit putih.
Ruby kecil lantas harus hidup dengan berbagai protes dan cibiran, hingga akhirnya perlu ditemani oleh empat perwira federal. Dia tidak hanya akan menjadi preseden bagi keempat adiknya dan anak-anak kulit hitam lainnya di komunitasnya, dia akan menjadi ikon gerakan hak-hak sipil. Terpengaruh oleh masa kecilnya, Bridges tumbuh menjadi aktivis untuk kesetaraan dan toleransi ras.
Iqbal Masih (1983-1995)
Usianya baru empat tahun, ketika sang ayah menjualnya sebagai pekerja anak untuk mendapatkan pinjaman untuk pernikahan putra sulungnya. Masih bekerja di pabrik karpet di Pakistan selama dua belas jam sehari.
Pada usia sepuluh tahun, ia berhasil melarikan diri dan mulai berkampanye menentang penggunaan pekerja anak dan hak anak untuk menerima pendidikan. Upayanya ini membawanya dikenal seluruh dunia. Secara total, dia membantu lebih dari 3.000 anak melarikan diri dari perbudakan sebelum dia dibunuh oleh mafia karpet pada usia dua belas tahun.
Hector Pieterson (1964-1976)
Di barisan berikutnya dalam daftar anak-anak paling berpengaruh dalam sejarah ada Hector Pieterson. Ia adalah seorang anak muda kulit hitam Afrika Selatan yang terbunuh selama pemberontakan Soweto. Protes yang dipimpin mahasiswa dan berlangsung pada tahun 1976 ini berakar pada keputusan pemerintah bahwa anak-anak tidak lagi diajar di sekolah dalam bahasa Inggris, tetapi Afrikaans, bahasa penindas kolonial mereka.
Demonstrasi dimulai dengan nyanyian, sebelum akhirnya dipenuhi gas air mata dan polisi yang memenuhi jalan. Kekacauan meletus dan Pieterson menjadi sasaran cepat ketika pihak berwenang melepaskan tembakan. Kakak perempuan dan aktivis anti-apartheid Mbuyisa Makhubu membawanya ke rumah sakit, tetapi dia sudah meninggal.