Serangan Umum 1 Maret 1949 di Kota Jogyakarta mampu menguatkan posisi tawar dari Republik Indonesia di mata dunia, atas rongrongan Hindia Belanda pasca Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945. Serangan umum 1 Maret 1049 juga menjadi pemantik terjadinya serangan umum di kota Kota Surakarta, Solo. Serangan inilah yang berhasil menyegel nasib Hindia Belanda untuk meninggalkan Indonesia selamanya.
Serangan Umum 1 Maret 1949 berhasil mempermalukan Hindia Belanda di mata dunia atas klaim bahwa Republik Indonesia sudah lemah. Terjadinya serangan ini, yang diikuti Serangan Umum oleh pasukan gerilya di Kota Surakarta, Solo menjadi salah satu keberhasilan pejuang RI yang paling gemilang karena membuktikan kepada Belanda dan dunia, bahwa gerilya bukan saja mampu melakukan penyergapan atau sabotase.
Lebih dari itu, ini juga mampu menyerang secara frontal ke tengah kota Solo yang dipertahankan dengan pasukan kavelerie, persenjataan berat (artileri), pasukan infantri dan komando yang tangguh.
Serangan umum 1 Maret merupakan serangan yang dilakukan oleh jajaran tinggi militer Divisi III/GM III untuk merebut kembali kota Yogyakarta sekaligus membuktikan bahwa TNI dan Republik Indoensia masih kuat. Dengan begitu, diharapkan akan semakin memperkuat posisi Indonesia dalam perudingan yang berlangsung di PBB.
Dalam tujuannya, serangan 1 Maret merupakan upaya pejuang Indonesia untuk meruntuhkan moral pasukan Belanda serta membuktikan kepada Internasional bahwa TNI memiliki kekuatan yang cukup besar untuk melakukan perlawanan.
Kronologi Serangan Umum 1 Maret
Tanggal 1 Maret 1949, pagi hari, serangan secara besar-besaran yang serentak dilakukan di seluruh wilayah Divisi III/GM III dimulai, dengan fokus serangan adalah Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta, serta kota-kota di sekitar Yogyakarta, terutama Magelang, sesuai Instruksi Rahasia yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng kepada Komandan Wehrkreis I, Letkol Bahrun dan Komandan Wehrkreis II Letkol Sarbini.
Dalam instruksi rahasian tersebut, perintah serangan juga dilakukan di wilayah Divisi II/GM II, dengan fokus penyerangan adalah kota Solo, hal ini dilakukan untuk menghalau tentara Belanda agar tidak dapat mengirimkan bantuan ke Yogyakarta.
(Baca juga: Apa yang Kamu Ketahui tentang Perang Puputan Margarana di Bali?)
Tepatnya pada tanggal 1 Maret 1949 di pagi hari, dimulailah serangan besar-besaran dengan fokus utama ialah ibu kota Indonesia saat itu yaitu Yogyakarta. Selain itu serangan juga dilakukan dibeberapa kota lain seperti Solo dan Magelang dengan tujuan untuk menghambat bantuan tentara Belanda.
Pusat komando saat itu ditempatkan di Desa Muto, tepat pada pukul 6 pagi, sirine dibunyikan dan serang dilakukan ke seluruh penjuru kota. Serangan tersebut dibagi menjadi 5 sektor yaitu:
- Kota dipimpin oleh Letnan Marsudi,
- Barat dipimpin oleh Letkol Ventje Sumual,
- Utara dipimpin oleh Mayor Kusno,
- Selatan dipimpin oleh Mayor Sarjono,
- Timur dipimpin oleh Mayor Sarjono,
TNI dari pasukan Brigade X yang diperkuat dengan satu Batalyon dari Brigade IX. berhasil menduduki kota Yogyakarta hanya dalam waktu 6 jam. Diwaktu bersamaan, serangan terhadap kota Solo yang juga dilakukan secara besar-besaran oleh sebagian besar brigade IX, dan berhasil melumpuhkan tentara Belanda, sehingga tidak dapat mengirim bantuan ke Yogyakarta.
Sedangkan serangan terhadap pertahanan Belanda di Magelang dan penghadangan di jalur Magelang-Yogyakarta yang dilakukan oleh Brigade IX lainnya, hanya dapat memperlambat gerak pasukan bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Sehingga tentara Belanda dari Magelang dapat menerobos dalam serangan tersebut dan sampai di Yogyakarta sekitar pukul 11.00.
Kerugian di kedua belah pihak
Dari pihak Belanda, tercatat 6 orang tewas, dan diantaranya adalah 3 orang anggota polisi; selain itu 14 orang mendapat luka-luka. Dari pihak Indonesia sendiri mencatat korban yang cukup besar dimana 300 prajurit tewas, 53 anggota polisi tewas, rakyat yang tewas tidak dapat dihitung dengan pasti. Menurut majalah Belanda De Wappen Broeder terbitan Maret 1949, korban di pihak Belanda selama bulan Maret 1949 tercatat 200 orang tewas dan luka-luka.
Pada hari Selasa siang pukul 12.00 Jenderal Meier (Komandan teritorial merangkap komandan pasukan di Jawa Tengah), Dr. Angent (Teritoriaal Bestuurs-Adviseur), Kolonel van Langen (komandan pasukan di Yogya) dan Residen Stock (Bestuurs-Adviseur untuk Yogya) telah mengunjungi kraton guna membicarakan keadaan dengan Sri Sultan.
Serangan besar-besaran yang dilakukan Tentara Indonesia pada 1 Maret 1949 menjadi perbincangan hangat dunia internasional, bahkan berbagai media cetak setempat menjadikan halaman utama pemberitaan media setempat.