Hari Film Nasional adalah peringatan hari film di Indonesia yang jatuh pada setiap tanggal 30 Maret, disamakan dengan hari pertama pengambilan gambar film Darah dan Doa (1950) yang disutradarai oleh Usmar Ismail. Lalu, apa kalian tahu bagaimana sejarah Hari Film Indonesia?
Sejarah hari film Indonesia dimulai sejak zaman penjajahan Belanda, ketika film Indonesia sudah mulai diproduksi. Film Indonesia pertama bahkan sudah dirilis di tahun 1926 berjudul Loetoeng Kasaroeng dan Lily Van Shanghai di tahun 1928. Sayangnya, meski menghadirkan banyak aktor lokal, dua film tersebut disutradarai oleh orang asing dan mencerminkan adanya dominasi Belanda dan Tiongkok.
Namun, perfilman Indonesia mulai terlihat ditahun 1950, atau 5 tahun pasca kemerdekaan. Film yang mencerminkan buatan Indonesia ini di sutradarai oleh Usmar Ismail. Usmar Ismail berhasil memproduksi film berjudul Darah dan Doa atau The Long March of Siliwangi melalui perusahaan film miliknya sendiri, Perfini.
Film Darah dan Doa menuai sukses karena menggambarkan ideologi yang dimiliki oleh orang-orang Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan mereka. Dari situ pula momen ini dianggap menjadi titik bangkitnya perfilman Tanah Air pada era Presiden BJ Habibie dan diresmikan oleh pemerintah melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999.
Hari pertama pengambilan gambar dari film ini adalah tanggal 30 Maret 1950. Itulah yang melandasi ditetapkannya sebagai Hari Perfilman Nasional yang ditetapkan oleh Dewan Film Nasional di tanggal tersebut.
Peringatan ini dibuat dalam upaya meningkatkan kepercayaan diri, motivasi para insan film Indonesia serta untuk meningkatkan prestasi yang mampu mengangkat derajat film Indonesia secara regional, nasional dan internasional.
Sejarah Hari Film Nasional
Sebagaimana dilansir laman Wikipedia, pada 30 Maret 1950, film Darah dan Doa karya sutradara Usmar Ismail melakukan pengambilan gambar hari pertama. Film ini merupakan film pertama yang disutradarai orang dan perusahaan Indonesia, Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini). Saat itu, selain PFN yang dimiliki oleh negara, terdapat dua perusahaan perfilman terbesar di Indonesia, yaitu Perfini dan Persari.
Baca juga: Sejarah Hari Meteorologi Sedunia
Pada 11 Oktober 1962, konferensi Dewan Film Nasional dengan Organisasi Perfilman menetapkan 30 Maret menjadi Hari Film Nasional. Sejak saat itu, 30 Maret dianggap sebagai Hari Film Nasional. Usmar Ismail (pendiri Perfini) dan Djamaludin Malik (pendiri Persari) juga diangkat sebagai Bapak Perfilman Nasional.
Penetapan tanggal 30 Maret sebagai Hari Film Nasional bukanlah pilihan tunggal. Tanggal 19 September juga pernah diusulkan dikarena tanggal peliputan Rapat Raksasa Lapangan Ikada Presiden Sukarno. Keberanian juru kamera Berita Film Indonesia merekam peristiwa bersejarah itu sangat berbahaya sehingga patut dikenang.
Pada 1964 Pegiat perfilman komunis juga pernah mengusulkan Hari Film Nasional didasarkan dari tanggal pendirian PAPFIAS (Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat). Aksi tersebut berhasil menghentikan pemutaran film-film Amerika Serikat di Indonesia. Namun, setelah peristiwa Gerakan 30 September usulan tersebut lenyap.
Pada tahun 1980-an, ketika situasi politik dan kondisi perfilman telah stabil, gagasan mengenai Hari Film Nasional diangkat kembali. Dewan Film Nasional, kelompok pemikir Menteri Penerangan, kembali mewacanakan 30 Maret untuk dijadikan keputusan bersama.
Namun, usaha tersebut kembali gagal karena PFN mengusulkan 19 September dan 6 Oktober. Tanggal 6 Oktober merupakan tanggal penyerahan perusahaan Nippon Eiga Sha oleh penguasa Jepang kepada pemerintah Indonesia, yang kemudian menjadi BFI dan PFN. Usulan ini langsung ditolak, karena tidak mengandung idealisme atau nilai perjuangan.
Pada awal 1990 Dewan Film Nasional memutuskan menjaring pendapat soal Hari Film Nasional. Anggota DFN, Soemardjono, ditunjuk memimpin pertemuan sejumlah orang yang pernah terlibat dalam sejarah film di gedung Badan Sensor Film (BSF).
Salah satu peserta pertemuan, Alwi Dahlan memberikan dasar pertimbangan yang akhirnya diterima. Menurutnya kedua tanggal itu penting, namun 19 September merupakan peristiwa jurnalistik. Sedangkan Hari Film Nasional adalah untuk memperingati pembuatan film cerita.
Hari Film Nasional kemudian disahkan secara resmi oleh B.J Habibie dengan terbitnya Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres RI) Nomor 25 Tahun 1999 tentang Hari Film Nasional. Dalam Keppres ini juga disebutkan bahwa Hari Film Nasional bukan merupakan hari libur nasional.