Sejarah konflik berkepanjangan negara Thailand tidak lepas dari perbedaan sosio-kultural yang mencolok antara masyarakat muslim melayu, Budha dan pemerintah Thailand itu sendiri. Thailand merupakan negara yang berbentuk kesatuan dengan mayoritas penduduk beragama Budha dan hanya sedikit yang beragama Islam dan lainnya dan menjadi cikal bakal terjadinya konflik di Thailand.
Perbedaan yang terjadi di Thailand memunculkan isu rasialisme yang berujung pada konflik berkepanjangan hingga saat ini. Rasialisme membangun sebuah konflik berkepanjangan dengan munculnya gerakan-gerakan separatis di kedua belah pihak dan hingga saat ini belum menemukan titik temu perdamaian.
Umumnya, masyarakat muslim melayu di Thailand terkonsentrasi di wilayah Thailand Selatan diantaranya Pattani, Narathiwat, Yala dan sebagian Songkhla. Thailand Selatan merupakan sejumlah kawasan di Thailand yang berbatasan dengan Semenanjung Malaysia. Thailand Selatan terdiri dari 14 wilayah yang umumnya berpenduduk melayu muslim diantaranya adalah wilayah Pattani, Yala, Narathiwat, Songkhla dan Satun. Mayoritas penduduknya adalah orang Melayu yang beragama Islam.
Awal Sejarah Konflik Thailand
Sejak tahun 1785, kerajaan Patani merupakan bumi jajahan Thailand dan diklain secara resmi menjadi bagian dari Negara Thailand pada tahun 1902. Dalam perjalanannya, sesuai dengan perjanjian Inggris-Siam (Thailand) pada tahun 1906, membagi negara-negara Melayu Utara seperti Pattani, Yala, Narathiwat, Songkhla, dan Satun menjadi bagian dari Thailand dan dijadikan sebagai provinsi. Sementara Negara di Melayu Utara yang lain: Kedah, Kelantan, Perlis dan Terangganu oleh Inggris dimasukkan sebagai bagian dari Malaysia.
Penyatuan wilayah Melayu Utara menjadi bagian dari Thailand menjadi awal dari konflik berkepanjangan. Terlebih di awal pemerintahan Thailand yang dikuasai oleh Perdana Menteri masa tersebut, yaitu Jenderal P. Pibhulsongkram (1938-1944), Marshal Sarit Thanarat, (1958-1963) dan para Jendral lainnya, menerapkan kebijakan nasionalisme budaya Thailand menjadi kebijakan utama.
(Baca juga: Konflik dan Pergolakan yang Berkaitan dengan Sistem Ideologi)
Upaya pemerintah tersebut berujung pada ditetapkannya penggunaan budaya dan bahasa Thai secara kuat di seluruh Thailand, termasuk wilayah Selatan. Hal tersebut membuat benturan budaya yang semakin keras dan menimbulkan resistensi sangat kuat bagi rakyat Melayu Patani di Thailand Selatan. Akibat beragam tekanan dan penindasan tersebut, rakyat Melayu Pattani berkeinginan untuk melepaskan diri dari jajahan Thailand yang selama ini merenggut kemerdekaan mereka.
Gerakan Separatisme
Gerakan separatisme semakin berkembang dan memunculkan tindak kekerasan yang sulit diatasi di Thailand Selatan. Setidaknya terdapat tiga peristiwa atau insiden yang mengenaskan dan mendapat perhatian luas dari masyarakat dunia internasional. Peristiwa tersebut adalah:
- Insiden Plon Peun
Pada tanggal 4 Januari 2004 terjadi insiden yang di anggap sebagai insiden awal atau akar terjadinya kekerasan di Thailand Selatan yaitu insiden “Plon Peun” atau Pencurian Senjata. Insiden Plon Peun terjadinya di provinsi Narathiwat.
- Insiden Krue Sek
Pada tanggal 28 April pada tahun yang sama yaitu 2004 terjadinya insiden “Krue Sek” yang merupakan masjid tertua di Pattani. Kekerasan di Krue Sek telah menunjukkan kekerasan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah terhadap masyarakat Melayu Patani tanpa rasa kepedulian terhadap masyarakatnya sendiri. Maka menimbulkan perasaan diskriminasi oleh masyarakat terhadap pemerintah.
- Insiden Tak Bai
Kekerasan tetap berlanjut pada tanggal 25 Oktober 2004 merupakan tanggal bersejarah yang tidak akan dilupakan oleh masyarakat Melayu Pattani. Peristiwa ini disebut oleh media disebut sebagai insiden “Tak Bai” . Peristiwa ini terjadi di depan kantor polisi Distrik Tak Bai, provinsi Narathiwat yang bertepatan dengan bulan Ramadhan 1425 H untuk meminta membebaskan enam orang sukarelawan pertahanan kampung yang ditahan tanpa bukti kesalahan oleh pemerintahan pusat.
Demontrasi damai seketika berubah menjadi medan perang dan membawa puluhan korban jiwa masyarakat Melayu Pattani.
Hingga saat ini, masyarakat Melayu Patani di wilayah Thailand Selatan hingga saat ini mengakui masih merasakan beragam intimidasi dan ancaman. Bahkan dalam konflik yang terus terjadi di Thailand Selatan antara tentara dan masyarakat Melayu Patani seringkali menjadikan masyarakat sipil di Thailand Selatan sebagai korbannya.