Jauh sebelum pandemi Covid-19 melanda dunia, dunia sebenarnya telah lebih dulu, bahkan berulang kali, diguncang oleh pandemi. Mulai dari AIDS yang pertama dideteksi pada 1981; SARS yang berlangsung pada 2002-2003; Hong Kong Flu atau H3N2 pada 1968-1970; hingga Flu Sanyol yang terjadi pada tahun 1918. Pandemi terahir, bahkan disebut sebagai salah satu pandemi paling mematikan dalam sejarah. Kok bisa?
Flu Spanyol dikenal juga dengan sebutan pandemi flu 1918. Pandemi ini merenggut nyawa 17-50 juta orang di seluruh dunia, sehingga tak berlebihan jika ini menjadi salah satu pandemi paling mematikan dalam sejarah umat manusia.
Flu Spanyol sendiri merupakan pandemi influenza yang disebabkan oleh virus influenza A subtipe H1N1. Pada masanya, virus ini menjangkiti sekitar 500 juta orang atau sepertiga dari populasi dunia pada saat itu (1918). Dan ini berlangsung dalam empat gelombang berturut-turut dari Februari 1918 hingga April 1920.
Amerika Serikat menjadi negara pertama yang diketahui diintai penyakit ini. Itu dimulai pada awal Maret 1918, tepatnya di Kansas, ketika seorang juru masak di Camp Funston, Albert Gitchell tiba-tiba terserang flu. Tak lama, ratusan tentara dilaporkan jatuh sakit. Pada 11 Maret 1918, virus telah mencapai Queens, New York.
Parahnya lagi, karena Amerika Serikat saat itu tengah bergabung dalam Perang Dunia I, penyakit ini pun menyebar dengan sangat cepat. Dimulai dari Kamp Funston di Kansas hingga ke kamp-kamp Angkatan Darat Amerika Serikat lainnya dan Eropa, sehingga menjadi epidemi di kawasan Barat Tengah, Pantai Timur, dan pelabuhan di Prancis pada April 1918, serta mencapai Perang Dunia pada pertengahan April.
Flu ini kemudian menyebar lagi dengan sangat cepat ke wilayah Prancis lainnya, disusul Britania Raya, Italia, dan Spanyol, sebelum akhirnya mencapai Breslau dan Odessa pada bulan Mei.
Rusia menyusul setelahnya, diikuti Afrika Utara, India, dan Jepang, serta setelah itu kemungkinan besar menyebar ke seluruh dunia termasuk Tiongkok dan Asia Tenggara.
Gelombang pertama flu berlangsung dari triwulan pertama 1918 dan cenderung ringan. Tingkat kematian dilaporkan sekitar 75 ribu. Namun, gelombang pertama ini menyebabkan gangguan yang signifikan dalam operasi militer Perang Dunia I, dengan tiga perempat tentara Prancis, setengan pasukan Inggris, dan lebih dari 900,000 tentara Jerman terjangkit penyakit ini.
Gelombang kedua pandemi 1918 lebih mematikan daripada gelombang pertama. Dimana tercetak tingkat kematian tertinggi dari seluruh pandemi. Di Amerika Serikat, misalnya, sekira 292 ribu kasus kematian dilaporkan antara September–December 1918. Belanda melaporkan lebih dari 40 ribu kasus kematian, sedangkan India mencatat angka kematian tertinggi dengan korban mencapai 12,5-20 juta.
Sebagai catatan, sementara kebanyakan wabah influenza menewaskan lebih banyak penduduk usia tua ketimbang usia muda, flu Spanyol sebaliknya. Virus ini justru mengakibatkan tingkat kematian yang lebih tinggi dari perkiraan bagi remaja.
Baca juga: Selain Corona, Ini dia 6 Virus Paling Mematikan di Dunia
Beberapa analisis menunjukkan virus ini sangat mematikan karena memicu badai sitokin yang merusak sistem imun yang lebih kuat pada remaja.
Kenapa Flu Spanyol?
Sebagian dari kita mungkin bertanya-tanya, kok Flu Spanyol? Apalagi Amerika Serikat adalah negara pertama yang mendeteksi kehadiran flu mematikan ini.
Ceritanya bermula dari sensor media yang diberlakukan selama Perang Dunia I. Kala itu, dengan alasan menjaga moral, berbagai pemberitaan dibatasi baik di Amerika Serikat maupun di Eropa. Namun tidak demikian dengan di Spanyol. Negara ini bisa dibilang menjadi negara pertama yang secara terbuka membicarakan virus tersebut.
Tak seperti negara lainnya di masa itu, Spanyol memiliki pers yang bebas. Spanyol juga netral selama Perang Dunia I. Jadi, sementara seluruh dunia berfokus pada kemenangan perang, bahkan menolak kenyataan bahwa banyak tentaranya gugur karena virus yang dimaksud, Spanyol justru banyak melaporkan mengenai pandemi ini.
Sampai hari ini, asal jenis flu belum pernah ditemukan. Tetapi penelitian baru yang dilakukan oleh Institut Penyakit Menular pada Angkatan Bersenjata Amerika Serikat mengisyaratkan bahwa kemungkinan besar penyakit ini berasal dari burung. Penyakit ini kemudian menghilang begitu saja setelah menewaskan hampir 50 juta orang di seluruh dunia.