Nama Malcolm X dikenal di dunia berkat kegigihannya dalam memperjuangkan Hak Asasi Manusia. Di Amerika Serikat, namanya tertulis dalam sejarah sebagai tokoh Muslim Afrika-Amerika paling berpengaruh. Bagaimana kisah hidupnya?
Terlahir dengan nama Malcolm Little – sebelum akhirnya berganti nama menjadi El-Hajj Malik El-Shabazz, pada 19 Mei 1925 di Omaha, Nebraska, Amerika Serikat, Malcolm X adalah anak seorang pendeta sekaligus pemimpin lokal dari Universal Negro Improvement Association (UNIA), sebuah organisasi yang mencoba menanamkan kemandirian dan kebanggaan berkulit hitam. Ibunya berasal dari Grenada.
Sejak kecil, kehidupan Malcolm sudah tidak baik-baik saja. Ayahnya meninggal karena dibunuh saat usianya masih sangat kecil, yakni 6 tahun. Sementara ibunya, masuk rumah sakit jiwa. Malcolm kecil pun hidup di panti asuhan, terpisah dari keenam saudaranya.
Di sekolah, meski terbilang sebagai siswa yang unggul, dia memilih keluar setelah seorang guru kulit putih mengatakan kepadanya bahwa menjadi pengacara, cita-cita terbesarnya pada saat itu, “bukanlah sebuah tujuan yang realistis untuk seorang negro”.
Perkataan sang guru membuat Malcolm merasa bahwa dunia orang kulit putih tidak memberi tempat bagi orang kulit hitam, tidak peduli sehebat apapun dia.
Malcolm lantas mulai terlibat dalam transaksi obat bius, perjudian, pemerasan, perampokan, dan mucikari, hingga akhirnya masuk penjara di usia 20 tahun.
Di penjara, kehidupannya mulai berubah. Lebih tepatnya setelah dia mengenal Nation of Islam, sebuah gerakan keagamaan yang relatif baru, dan bertujuan untuk memperbaiki kondisi spiritual, mental, sosial, dan ekonomi dari Afrika-Amerika di Amerika Serikat.
Baca juga: Mengenal Robert Own, Tokoh Pencetus Sosialisme
Karirnya di Nation of Islam melesat, hingga tak lama setelah pembebasan bersyaratnya pada tahun 1952, Ia menjadi salah satu pemimpin organisasi. Dari sini dia mulai menggunakan nama “Malcolm X”.
Namun, keberadaannya dalam Nation of Islam tidak bertahan lama. Kecewa dengan pemimpin NOI, serta merasa metode pengajaran Nation of Islam terlalu kaku, menjadi alasannya untuk keluar dari organisasi.
Dia lalu mendirikan Muslim Mosque, Inc, yang menganjurkan persatuan Afrika, dan mulai bekerjasama dengan para pemimpin hak-hak sipil, sesuatu yang tidak bisa dilakukannya selama di NOI. Ia juga memutuskan untuk lebih mendalami Islam dan berhaji ke Mekkah.
Pasca perjalanan spiritualnya, Malcolm mulai melihat Islam sebagai sarana untuk mengatasi masalah rasial. Ia melihat muslim berinteraksi satu sama lain, terlepas dari warna kulit, rambut, mata dan sebagainya.
Dari sini, perlahan tapi pasti, Malcolm X menjadi salah satu pembicara yang paling dicari. Dia menjadi pembicara di televisi dan radio di banyak negara di Afrika, termasuk Mesir, Ethiopia, Tanganyika, Nigeria, Ghana, Guinea, Sudan, Senegal, Liberia, Aljazair, dan Maroko.
Namun sayang, pengaruh Malcolm X yang semakin besar, malah semakin membuat ketegangan antara dirinya dan “kawan lama” di Nation of Islam.
Dia mulai mendapatkan ancaman pembunuhan. Mulai dari peletakan bahan peledak di mobil hingga pembakaran rumahnya di Queens, New York.
Malcom X selamat. Namun tidak demikian pada upaya ketiga. Tepatnya pada 21 Februari 1965, atau sepekan setelah pembakaran rumahnya, dia ditembak saat berbicara dalam sebuah acara Organisasi Persatuan Afro-Amerika di Audubon Ballroom, Manhattan.
Total tiga orang. Pria pertama menembaknya di dada dengan senapan sawed-off berlaras ganda. Setelah itu, dua penembak lainnya naik ke panggung dan menghujaninya dengan pistol semi-otomatis.
Malcolm X dinyatakan meninggal pada pukul 15.30, tak lama setelah tiba di Columbia Presbyterian Hospital. Laporan otopsi menyebut ada 21 peluru bersarang di badannya. 10 diantaranya di dada kiri dan bahu, sisanya di lengan dan kaki.