Butuh waktu yang cukup panjang bagi Soekarno dkk hingga akhirnya bisa menghasilkan sebuah teks yang kemudian menjadi penanda telah terbebasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan. Teks proklamasi ini, demikian ia dipanggil, mulai disusun sejak dini hari sekitar pukul 02.00 – 04.00 WIB. Tepatnya di rumah seorang perwira tinggi Angkatan Laut Kekaisaran Jepang yang bernama Tadashi Maeda.
Penyusunan teks Proklamasi sendiri menjadi awal bagi bangsa Indonesia untuk memasuki pintu kemerdekaan. Teks ini dirumuskan dengan satu tujuan, yakni mempercepat kemerdekaan Indonesia. Dan meskipun hanya terdiri dari beberapa baris, namun tak dimungkiri perannya sangatlah penting bagi bangsa Indonesia. Ini adalah penanda bahwa bangsa Indonesia telah menjadi negara yang merdeka, dan bahwa dalam pemindahan kekuasaan pemerintah pun dilakukan dengan penuh perhitungan dan hati-hati sehingga tidak menimbulkan pertumpahan darah yang besar.
(Baca juga: Siapa Saja Tokoh Dibalik Penyusunan dan Pembacaan Teks Proklamasi?)
Kala itu, Ir. Soekarno bertindak sebagai orang yang membacakan teks ini, didampingi Moh. Hatta. Sementara orang yang bertugas membuatnya lebih mudah dibaca, dengan menyalinnya dalam bentuk ketikan adalah Sayuti Melik. Nah, ngomong-ngomong soal Sayuti Melik, siapa sih dia?
Siapa Sayuti Melik?
Mohamad Ibnu Sayuti atau lebih dikenal sebagai Sayuti Melik lahir di Sleman, Yogyakarta pada 22 November 1908. Ia dicatat dalam sejarah Indonesia sebagai pengetik naskah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Dia adalah anak dari seorang bekel jajar atau kepala desa di Sleman, Yogyakarta yang bernama Abdul Mu’in alias Partoprawito. Ibunya bernama Sumilah.
Sayuti memulai pendidikannya dari Sekolah Ongko Loro (Setingkat SD) di desa Srowolan, sampai kelas IV dan diteruskan sampai mendapat Ijazah di Yogyakarta. Nasionalisme sudah sejak kecil ditanamkan oleh sang ayah kepada Sayuti. Kala itu ayahnya menentang kebijaksanaan pemerintah Belanda yang menggunakan sawahnya untuk ditanami tembakau.
Ketika belajar di sekolah guru di Solo (1920), Sayuti belajar nasionalisme dari guru sejarahnya yang berkebangsaan Belanda, H.A. Zurink. Pada usia belasan tahun itu, ia sudah tertarik membaca majalah Islam Bergerak pimpinan K.H. Misbach di Kauman, Solo, ulama yang berhaluan kiri. Ketika itu banyak orang, termasuk tokoh Islam, memandang Marxisme sebagai ideologi perjuangan untuk menentang penjajahan. Dari Kiai Misbach ia belajar Marxisme.
(Baca juga: “Klad” dan “Otentik”, Apa Beda Kedua Teks Proklamasi Ini?)
Pada tahun 1926, Sayuti berkenalan dengan Soekarno untuk pertama kalinya di Bandung.
Dalam perjalanannya, Sayuti telah berulang kali ditahan oleh Belanda. Dan ini tak lain berkat tulisan-tulisannya mengenai politik. Pada tahun 1926, ia ditangkap Belanda karena dituduh membantu PKI dan selanjutnya dibuang ke Boven Digul (1927-1933). Tahun 1936, dia kembali ditangkap, hanya saja oleh Inggris, dan dipenjara di Singapura selama setahun. Setelah diusir dari wilayah Inggris, ia ditangkap lagi oleh Belanda dan dibawa ke Jakarta, dimasukkan sel di Gang Tengah (1937-1938).
Sepulangnya dari pembuangan, Sayuti bertemu dengan Soerastri Karma Trimurti, seorang wartawati dan aktivis perempuan di zaman pergerakan dan zaman setelah kemerdekaan. Bersama, keduanya terlibat dalam berbagai kegiatan pergerakan, hingga akhirnya menikah pada 19 Juli 1938.
Pada tahun itu juga, Sayuti Melik dan SK Trimurti mendirikan koran Pesat di Semarang yang terbit tiga kali seminggu dengan tiras 2 ribu eksemplar. Karena penghasilannya masih kecil, pasangan suami-istri itu terpaksa melakukan berbagai pekerjaan, dari redaksi hingga urusan percetakan, dari distribusi dan penjualan hingga langganan.
Trimurti dan Sayuti Melik bergiliran masuk keluar penjara akibat tulisan mereka yang mengkritik tajam pemerintah Hindia Belanda. Sayuti sebagai bekas tahanan politik yang dibuang ke Boven Digul selalu dimata-matai dinas intel Belanda (PID).
Pada zaman pendudukan Jepang (Maret 1942), koran Pesat diberedel. Trimurti ditangkap Kempetai, sementara Sayuti dicurigai Jepang sebagai orang komunis.
Pada 9 Maret 1943, diresmikan berdirinya Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dipimpin “Empat Sekawan” Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Kiai Mas Mansoer. Saat itu Soekarno meminta pemerintah Jepang membebaskan Trimurti, lalu membawanya ke Jakarta untuk bekerja di Putera, dan kemudian di Djawa Hookoo Kai, Himpunan Kebaktian Rakyat Seluruh Jawa. Trimurti dan Sayuti Melik hidup relatif tenteram kala itu, dan Sayuti terus berada di sisi Bung Karno.
Pasca Kemerdekaan Indonesia
Setelah Indonesia Merdeka, Sayuti menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pada tahun 1946 atas perintah Amir Syarifudin, ia ditangkap oleh Pemerintah RI karena dianggap sebagai orang dekat Persatuan Perjuangan serta dianggap bersekongkol dan turut terlibat dalam “Peristiwa 3 Juli 1946. Setelah diperiksa oleh Mahkamah Tentara, ia dinyatakan tidak bersalah.
Ketika terjadi Agresi Militer Belanda II, ia kembali ditangkap Belanda dan dipenjarakan di Ambarawa. Ia dibebaskan setelah selesai KMB. Tahun 1950 ia diangkat menjadi anggota MPRS dan DPR-GR sebagai Wakil dari Angkatan ’45 dan menjadi Wakil Cendekiawan.
Sayuti dikenal sebagai pendukung Soekarno, dan memang itulah kenyatannya. Namun ketika Bung Karno berkuasa, Ia justru tak “terpakai”. Dalam suasana gencar-gencarnya memasyarakatkan Nasakom, dialah orang yang berani menentang gagasan Nasakom (nasionalisme, agama, komunisme). Ia mengusulkan mengganti Nasakom menjadi Nasasos, dengan mengganti unsur “kom” menjadi “sos” (sosialisme).
(Baca juga: Mengingat-ingat Kembali Isi Teks Proklamasi, dan Apa Maknanya)
Ia juga menentang pengangkatan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup oleh MPRS. Tulisannya, Belajar Memahami Sukarnoisme dimuat di sekitar 50 koran dan majalah dan kemudian dilarang. Artikel bersambung itu menjelaskan perbedaan Marhaenisme ajaran Bung Karno dan Marxisme-Leninisme doktrin PKI. Ketika itu Sayuti melihat PKI hendak membonceng kharisma Bung Karno.
Setelah Orde Baru, nama Sayuti kembali berkibar di kancah politik. Ia menjadi anggota DPR/MPR, mewakili Golkar pada hasil Pemilu 1971 dan Pemilu 1977. Sayuti Melik meninggal pada tanggal 27 Februari 1989 setelah setahun sakit, dan dimakamkan di TMP Kalibata. Ia menerima Bintang Mahaputra Tingkat V (1961) dari Presiden Soekarno dan Bintang Mahaputra Adipradana (II) dari Presiden Soeharto (1973).