Sumpah pemuda yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928 yang kita kenal selama ini, konsepnya dirumuskan pada Kongres Pemuda I menghasilkan tiga poin penting dalam Kemerdekaan Indonesia. Berbangsa yang satu, bertanah air yang satu, dan menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia. Salah satu point terakhir adalah Bahasa Indonesia. Tahukah kamu, bahwa ada sosok bernama Tabrani yang menjadi pencetus Bahasa Indonesia?
Lahirnya Sumpah Pemuda itu tidak hanya memberi “amunisi” kepada Bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan, tetapi juga bukti sejarah sebagai kelahiran bahasa Indonesia. Sayangnya, fakta lain terkait kelahiran bahasa Indonesia termasuk jasa-jasa para pelopor bahasa Indonesia seakan terlupakan, bahkan para tokoh pencetus bahasa Indonesia pun jarang terekspose.
Perlu diketahui, kelahiran bahasa Indonesia tidak bisa dipisahkan dari Sumpah Pemuda, dikenal juga Kebangkitan Nasional. Tengok saja, semangat dalam mencetuskan point pada Sumpah Pemuda hasil Kongres Pemuda ke-1 “Kami putra dan putri Indonesia menjungjung bahasa persatuan bahasa Indonesia”.
Poin ketiga Sumpah Pemuda sekaligus menandai perjalanan kelahiran bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Itu artinya, bahasa persatuan tidak terlepas dari sosok Mohmamad Tabrani, yang merupakan salah satu pencetus Sumpah Pemuda ini.
Sayangnya, sejarah hanya mencatat Muhamad Yamin, Sanusi Pane, dan Sutan Takdir Alisyahbana sebagai orang yang ditautkan dengan bahasa Indonesia. Lantas, siapakah Tabrani?
Sebagaimana dilansir berbagai sumber, disebutkan bahwa Mohamad Tabrani Soerjowitjirto atau biasa dikenal Mohamad Tabrani lahir di Pamekasan, Madura 10 Oktober 1904. Ia merupakan tokoh Jong Java.
Tabrani lebih dikenal sebagai wartawan, meski sekolahnya di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) dan OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren) di Bandung mendidikanya menjadi amtenar, pegawai pemerintah. Ia memilih menjadi wartawan.
Kiprahnya sebagai wartawan dimulai saat ia bergabung dengan Hindia Baroe (1925-1926) di bawah pemimpin redaksi Agus Salim. Ketika Agus Salim keluar awal 1926, karena mendapat tugas partai, Tabrani diangkat sebagai pemimpin redaksi. Jabatan itu ditinggalkan karena ia belajar jurnalistik ke Eropa. Tepatnya di kampus Berlin Universitat dan Koln Universitat jurusan Jurnalistik dan Ilmu Persuratkabaran.
Setelah kembali dari Eropa, ia memimpin Revee Politiek, organ partai yang didirikannya, Partai Rakyat Indonesia dari tahun 1932-1936. Lalu, menangani koran milik Haji Djoenadi, Pemandangan (1936-1942). Sesudahnya, dia memimpin redaksi Suluh Indonesia, organ Partai Nasional Indonesia.
Baca juga: 6 Negara yang Menggunakan Bahasa Indonesia
Tabrani juga pernah menjadi Ketua Persatuan Djoernalis Indonesia (Perdi). Ia hadir ketika Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dibentuk tahun 1946, sebagai Pegawai Menteri Penerangan.
Pada zaman Jepang, ia memimpin koran Tjahaya di Bandung. Pada zaman Jepang ini pula pernah dijebloskan ke penjaran Sukamiskin. Ia disiksa hingga kaki cacat sampai pincang. Keluar dari penjara, Tabrani memimpin Indonesia Merdeka yang diterbitkan Jawa Jawa Hokokai. Saat Indonesia Merdeka, ia sempat mengelola koran Suluh Indonesia, milik Partai Nasional Indonesia.
Dalam perjalanan hidupnya, Tabrani ikut mendirikan Institut Jurnalistik dan Pengetahuan Umum bersama Mr. Wilopo di Jakarta. Murid-muridnya antara lain Anwar Tjokrominoto dan Syamsudin Sutan Makmur. Tabrani meninggal di Jakarta 12 Januari 1984, pada usia 80 tahun dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir, Jakarta Selatan.
Sejarah Lahirnya Bahasa Indonesia
Peran penting Tabrani terkait kelahiran bahasa Indonesia adalah saat diadakan Kongres Pemuda I yang dilaksanakan pada 30 April – 2 Mei 1926 di Loge Ster in Het Oosten (Loji Bintang Timur), Batavia. Sekarang di sekitar Jalan Budi Utomo, Jakarta.
Sebagai pemakarsa, Tabrani yang mewakili Jong Java ditunjuk sebagai ketua panitia dengan Djamaludin Adinegoro, wakil Jong Sumatranen Bond sebagai sekretaris Panita. Sebagai ketua panitia, Tabrani membuka kongres tersebut. Sambutan menekankan pentingnya bahasa persatuan untuk mengutarakan kebudayaan masa depan Indonesia. Salah satu bahasa yang memiliki modal menjadi bahasa persatuan adalah bahasa Melayu.
Dalam kongres itu, ia ikut menjadi perumus putusan kongres bersama Muhammad Yamin dari Jong Sumatranen Bond, dan Sanusi Pane wakil dari Jong Bataks. Muhammad Yamin dan Sanusi pane tidak hanya tokoh pergerakan tetapi juga menguasai bahasa, sastra, sejarah dan bidang lainnya.
Sumpah pemuda yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928 yang kita kenal selama ini, konsepnya dirumuskan pada Kongres Pemuda I. Saat-saat terakhir kongres I akan berakhir, para perumus masih mempermasalahkan apakah akan menyebut bahasa persatuan bangsa Indonesia itu Bahasa Melayu, karena bahasa itu yang dimaksud sesuai yang diusulkan Muhamad Yamin dengan dukungan Djamaludin Adinegoro.
Untuk itu, konsep Sumpah Pemuda yang diusulkan Muhamamad Yamin adalah:
- Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia;
- Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia;
- Kami putra dan putri Indonesia menjungjung bahasa persatuan bahasa Melayu.
Sedangkan Tabrani dengan dukungan dari Sanusi Pane, menyetujui butir 1 dan 2 tetapi menolak butir no. 3. Ia berpendapat, kalau tumpah darah dan bangsa disebut Indonesia, maka bahasa persatuannya harus disebut bahasa Indonesia dan bukan bahasa Melayu. Usul itu disetujui bersama pada 2 Mei 1926, walaupun diterima oleh Muhamad Yamin dengan berat hati.
Usulan itu kemudian menghasilkan keputusan Kongres I dan dikukukan dalam Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 1928 berupa Sumpah Pemuda. Jelas bagi kita bahwa bahasa persatuan itu adalah Bahasa Melayu yang kemudian diberi nama baru bahasa Indonesia.
Meskipun Tabrani tidak mengklaim bahwa arsitek bahasa persatuan adalah dirinya, berdasarkan itu, Harimurti Kridalaksana, linguis atau ahli bahasa dari Universitas Indonesia dalam bukunya Masa-masa Awal Bahasa Indonesia (2010) berpendapat 2 Mei 1926 adalah hari kelahiran bahasa Indonesia, yakni ketika Tabrani menyatakan bahwa bahasa bangsa Indonesia haruslah bahasa Indonesia, bukan bahasa Melayu.
Maka, dalam keputusan final dalam point ketiga dalam Sumpah Pemuda sebagai hasil dari Kongres Pemuda ke-1 adalah Bahasa Indonesia. Dan keputusan mutlak lahirnya Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan Kebhinekaan di Indonesia yang hingga kini dijunjung tinggi Bangsa Indonesia hingga detik ini.