Bangsa Indonesia memiliki sejarah kelam penjajahan selama 350 tahun. Selama itu pula perjuangan berkobar tiada henti. Tidak terhitung jumlah tokoh perjuangan yang harus gugur dalam berbagai pertempuran melawan penjajahan. Diantara berbagai pertempuran yang dikenal, salah satunya adalah Serangan Umum 1 Maret.
Setelah Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan pada Desember 1948, Tentara Nasional Indonesia (TNI) mulai menyusun strategi untuk melakukan pukulan balik terhadap tentara Belanda. Strategi tersebut antara lain dimulai dengan memutuskan telepon, merusak jalan Kereta api, menyerang konvoi Belanda, serta tindakan lainnya.
Selain itu, TNI juga tengah menyusun sebuah rencana serangan besar-besaran di Ibu Kota, Yogyakarta yang diputuskan akan dilaksanakan pada 1 Maret 1949 pukul 06.00 Pagi.
Alasan penting untuk memilih Yogyakarta sebagai sasaran utama dalam Serangan ini adalah selain Yogyakarta adalah Ibu kota RI, keberadaan banyak wartawan asing, serta anggota delegasi UNCI, serta pengamat militer dari PBB di Hotel Merdeka Yogyakarta, menjadikan sasaran yang sesuai dengan tujuannya Serangan Umum 1 Maret.
Tujuan Serangan Umum 1 Maret
Serangan Umum 1 Maret 1949 merupakan serangan yang terjadi pada tanggal 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Selain buntut dari Agresi Belanda Kedua, serangan juga dilatarbelakangi kondisi terkini atas resolusi Dewan Keamanan PBB dan penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut. Terlebih, Belanda juga melancarkan propaganda yang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi.
Baca juga: Cari Tahu Lebih Jauh Perlawanan Rakyat Makassar
Dalam tujuannya, serangan ini ingin membuktikan kepada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih ada dan cukup kuat, dengan harapan dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB.
Terlebih, perundingan tersebut memiliki tujuan penting untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan.
Perlawanan Agresi Belanda Kedua
Sejak Agresi Belanda Kedua yang dilancarkan pada Desember 1948, Belanda mulai memperbanyak pos-pos penjagaan di sepanjang jalan-jalan besar penghubung kota-kota yang telah diduduki, terutama menuju Yogyakarta.
Dengan kekuatan pasukan Belanda yang tersebar pada pos-pos kecil di seluruh daerah, memungkinkan pasukan republik untuk menjadikan medan gerilya. Dalam keadaaan pasukan Belanda yang sudah terpencar-pencar, Tentara Nasional Indonesia (TNI) memanfaatkannya dengan mulai melakukan serangan terhadap Belanda.
Sekitar awal Februari 1948, di perbatasan Jawa Timur, Letkol. dr.Wiliater Hutagalung – yang diangkat sebagai Perwira Teritorial sejak September 1948, ditugaskan untuk membentuk jaringan pesiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III. Kemudian bertemu dengan Panglima Besar Sudirman untuk melaporkan mengenai resolusi Dewan Keamanan PBB dan penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut.
Melalui Radio Rimba Raya, Panglima Besar Sudirman juga telah mendengar berita tersebut. Panglima Besar Sudirman menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah yang harus diambil untuk memutar balikkan propaganda Belanda.
Untuk menembus dalam resolusi yang terjadi, TNI harus mengadakan serangan, yang tidak bisa disembunyikan oleh Belanda. Untuk itu, dalam upaya Serangan ini harus diketahui oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI) dan wartawan asing untuk disebarluaskan ke seluruh dunia. Untuk menyampaikan kepada UNCI dan para wartawan asing bahwa Negara Republik Indonesia masih ada dan masih kuat.
Strategi Serangan Umum 1 Maret
Tanggal 1 Maret 1949, pagi hari, serangan secara besar-besaran serentak dilakukan di seluruh wilayah Divisi III/GM III dengan fokus serangan adalah Ibu kota Republik Indonesia, yakni kota Yogyakarta. Serangan juga dilancarkan oleh pasukan Brigade X di Magelang dan kota lainnya yang memiliki basis militer Belanda. Harapannya, pasukan Belanda di Yogyakarta tidak bisa memberikan bantuan.
Pagi hari sekitar pukul 06.00, sewaktu sirene dibunyikan serangan segera dilancarkan ke segala penjuru kota. Dalam penyerangan ini, Letkol Soeharto langsung memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke batas Malioboro. Sektor Timur dipimpin Ventje Sumual, sektor selatan dan timur dipimpim Mayor Sardjono, sektor utara oleh Mayor Kusno. Sedangkan untuk sektor kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki sebagai pimpinan. TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam. Tepat pukul 12.00 siang.
Dalam serangan tersebut, sebuah majalah Belanda De Wappen Broeder terbitan Maret 1949 mencatat jumlah korban pihak Indonesia sebanyak 300 prajurit tewas, 53 anggota polisi tewas, rakyat yang tewas tidak dapat dihitung dengan pasti. Sementara, korban di pihak Belanda selama bulan Maret 1949 tercatat 200 orang tewas dan luka-luka.