Kemerdekaan yang diproklamirkan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 merupakan titik awal lahirnya bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Hal tersebut, adalah hasil perjuangan rakyat di seluruh penjuru negeri, yang berupaya mengalahkan penjajah hingga terbebas dari belenggu bangsa asing. Salah satu perjuangan rakyat di daerah adalah perang yang terjadi di Sumatera Utara atau lebih dikenal dengan perang Batak.
Perang Batak adalah perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Toba di Sumatera Utara terhadap Belanda pada tahun 1878-1907. Perang ini disebut perang Batak/Tapanuli karena dalam peperangan, sebagian besar masyarakatnya berasal dari rumpun suku Batak yang terdiri dari Toba, Karo, Pakpak, Simalungun, Angkola, dan Mandailing
Dalam sejarahnya, perang Batak ini dimulai sejak kedatangan Belanda ke kawasan Sumatera pada abad ke 19. Dimana, Belanda mulai melancarkan monopolinya di Bumi Sumatera. Namun, ada dua daerah, yaitu Aceh dan Tanah Batak yang tidak bisa dikuasai karena dua daerah tersebut menolak untuk bekerjasama dengan Belanda.
Disamping itu, perang Batak ini juga dipicu dengan penyebaran agama Kristen yang ditunggangi kepentingan politik oleh misionaris Belanda di wilayah Batak. Si Singamangaraja XII sebagai raja Batak khawatir kepercayaan dan tradisi animisme rakyat Batak akan terkikis oleh perkembangan agama Kristen.
(Baca juga: Sejarah Singkat Perang Diponegoro)
Untuk memadamkan penyebaran agama tersebut, Si Singamangaraja XII melakukan pengusiran terhadap missionaris di Silindung dan Bahal Batu. Tidak terima dengan pengusiran tersebut, para missionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Belanda. Dimana, Belanda meresponnya dengan menempatkan pasukannya di Tarutung dengan tujuan untuk melindungi penyebar agama Kristen yang tergabung dalam Rhijnsnhezending.
Raja Sisingamangaraja XII memutuskan untuk menyerang kedudukan Belanda di Tarutung. Perang berlangsung selama tujuh tahun di daerah Tapanuli Utara seperti di Bahal Batu, Siborong-borong, Balige Lguboti dan Lumban Julu.
Untuk menghadapi Belanda, rakyat Batak memiliki benteng tinggi Toba dan Silindung. Namun, Belanda yang datang dengan persenjataan lengkap membuat pasukan Si Singamangaraja XII mundur untuk sementara.
Persebaran pasukan Belanda yang meluas hingga ke hutan Pananggara membuat pejuang-pejuang Batak melakukan perlawanan yang keras. Hingga 1889, Pasukan Si Singamangaraja XII aktif bergerak mempertahankan wilayah hingga bagian tenggara dan barat Danau Toba serta Pulau Samosir.
Rakyat Batak bahkan berhasil mengadakan serangan balasan dan menewaskan banyak pasukan Belanda. Namun, pada tahun 1907 Belanda memulai penggempuran intensif terhadap pasukan Si Singamangaraja XII di bawah komando pasukan Hans Christoffel yang terus bergerak mencari pasukan pimpinan Si singamangaraja XII tersebut.
Setelah melalui penelusuran panjang dan melelahkan, Belanda berhasil menemukan Si Singamangaraja XII di dekat Aik Sibulbon dalam keadaan lemah. Si Singamangaraja XII pun tertembak oleh pasukan Belanda. Dengan gugurnya Si Singamangaraja XII seluruh daerah Batak jatuh ke tangan Belanda.