Panjang dan berliku, mungkin itu dua kata yang paling pas untuk menggambarkan perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Pun demikian ketika harus mempertahankannya, dan mendapatkan pengakuan dari bangsa lain, termasuk Belanda. Banyak upaya dilakukan. Bukan saja melalui jalur fisik, dengan pertempuran, tetapi juga melalui jalur diplomasi. Salah satunya adalah melalui perjanjian Linggarjati.
Ya, perjanjian Linggarjati dilakukan oleh Pemerintah Indonesia sebagai salah satu cara mendapatkan pengakuan kedaulatan dari Belanda. Pemerintah Indonesia sadar bahwa perlawanan fisik hanya akan menimbulkan kerugian bagi kedua belah pihak. Oleh karena itu, diadakanlah perjanjian Linggarjati pada 10 November 1946, tepatnya di kota Cirebon.
Ada beberapa tokoh yang terlibat dalam Perjanjian Linggarjati, diantaranya Dr. A.K. Gani, Susanto Tirtoprodjo, Sutan Sjahrir dan Mohammad Roem sebagai perwakilan Indonesia; Van Poll, Prof Schermerhorn dan De Boer sebagai perwakilan Belanda; dan Lord Killearn dari Inggris sebagai mediator.
(Baca juga: Perjuangan Pembebasan Irian Barat)
Perjanjian ini menghasilkan sejumlah keputusan, diantaranya:
- Belanda mengakui secara de facto Negara Republik Indonesia dengan daerah kekhususan Madura, Sumatra, dan Jawa. Belanda harus meninggalkan daerah tersebut paling lambat 1 Januari 1949.
- Belanda dan Indonesia sepakat untuk mendirikan Republik Indonesia Serikat sebelum 1 Januari 1949 yang terdiri atas RI, Timur Besar dan Kalimantan.
- Belanda dan RIS sepakat untuk mendirikan Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketua.
Hasil penjanjian ini ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 November 1946 dan ditandatangani secara sah oleh kedua negara pada 25 Maret 1947.
Dampak Perjanjian Linggarjati
Perjanjian Linggarjati memberikan dampak positif bagi Indonesia karena pada akhirnya Belanda mau memberikan pengakuan de facto atas beberapa daerah kekuasaan Indonesia. Namun, hal ini juga berdampak negatif karena wilayah kekuasaan Indonesia menjadi semakin sempit.
Tak hanya itu, sejumlah partai, seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia dan Partai Rakyat Jelata juga menanggapi negatif perjanjian ini. Partai-partai tersebut menyatakan bahwa perundingan itu adalah bukti lemahnya pemerintahan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia.
Dan benar saja. Dalam perjalanannya pelaksanaan hasil perundingan atau perjanjian ini memang tidak berjalan mulus. Pada tanggal 20 Juli 1947, Van Mook akhirnya menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan perjanjian ini, dan pada tanggal 21 Juli 1947, meletuslah Agresi Militer Belanda I.