Indonesia adalah salah satu negara yang mengalami masa kelam cukup panjang akibat penjajahan yang dilakukan oleh bangsa asing. Namun, hal tersebut bukan tanpa adanya perlawanan, lantaran banyak daerah yang bereaksi melawan aksi para penjajah. Salah satu kisah heroik dalam melawan penjajah di beberapa daerah di Indonesia adalah perang Tondano yang dilakukan oleh rakyat minahasa.
Perang Tondano adalah perang yang berlangsung antara Suku Minahasa dengan pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1808-1809 yang terjadi di wilayah Danau Tondano semenanjung Sulawesi Utara. Meski hanya berlangsung satu tahun, perang yang terjadi di daerah dengan julukan Tanah Nyiur Melambai ini terbagi menjadi dua tahap yaitu Perang Tondano I dan perang Tondano II.
Perang Tondano I
Perang ini terjadi lantaran persekutuan dagang yang bernama VOC Belanda berusaha memaksakan kehendak agar rakyat Minahasa menjual berasnya kepada VOC. Hal ini lantaran, VOC sangat membutuhkan beras guna melakukan monopoli perdagangan beras di Sulawesi Utara. Padahal sebelum VOC berkuasa, orang Minahasa mempunyai hubungan dagang yang baik dengan bangsa Spanyol yang akhirnya tersingkir.
Akan tetapi, permintaan VOC ini ditolak oleh rakyat Minahasa sehingga tidak ada pilihan lain bagi VOC kecuali memerangi orang Minahasa. Dimana, VOC membendung sungai Temberen dan mengakibatkan pemukiman penduduk Minahasa banjir, bahkan VOC terus melakukan tekanan dan mengultimatum agar orang Minahasa menyerahkan ganti rugi tanaman padi yang gagal panen akibat banjir.
(Baca juga: Revolusi Cina, Apa yang Melatarbelakanginya?)
Namun, hal tersebut tidak dihiraukan sehingga VOC mundur ke Manado. Hal ini justru menambah masalah lantaran hasil pertanian Minahasa menumpuk, sehingga orang Minahasa memutuskan menjalin kerjasama dengan VOC yang menandai akhir dari Perang Tondano I.
Perang Tondano II
Perang ini terjadi pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels yang menetapkan kebijakan baru berkaitan dengan upaya memperkuat pertahanan untuk menghalau pasukan Inggris. Salah satu kebijakannya dengan merekrut pasukan dari kalangan pribumi yaitu suku-suku yang memiliki keberanian berperang seperti Madura, Dayak, dan Minahasa.
Oleh karena itu, pemerintahan Belanda mengumpulkan para ukung (pemimpin adat) agar menyediakan pasukan dan dikirim ke Jawa. Kebijakan ini ditolak oleh orang Minahasa, justru mereka ingin melakukan perlawanan terhadap colonial Belanda dan aktivitas perjuangan ini dipusatkan di Tondano.
Dalam suasana yang semakin kritis maka pemerintah kolonial Belanda kembali menyerang dengan menerapkan strategi membendung kembali sungai Temberan. Tetapi strategi ini seperti senjata makan tuan karena Sungai Temberan yang dibendung mulai meluap sehingga mempersulit pasukan Belanda sendiri.
Perang Tondano II berlangsung cukup lama dari 23 Oktober 1808 perang mulai berkobar sampai agustus 1809. Dalam suasana kepenatan dan kekurangan makanan mulai ada kelompok pejuang yang memihak kepada Belanda. Namun dengan kekuatan yang ada para pejuang Tondano terus memberikan perlawanan.
Akhirnya pada tanggal 4-5 Agustus 1809 Benteng pertahanan Moraya milik para pejuang hancur bersama rakyat yang berusaha mempertahankan. Para pejuang itu memilih mati daripada menyerah, sehingga kekalahan rakyat Minahasa dan Tanah Minahasa kehilangan kemerdekaannya ke tangan Hindia Belanda.