Indonesia merupakan surganya tanaman rempah-rempah dan banyak menjadi incaran berbagai bangsa asing dan ingin menguasainya. Namun, bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke terus melakukan perlawanan terhadap para penjajah untuk mempertahankan Nusantara. Salah satu perlawanan besar di Indonesia bagian timur adalah perang Saparua di Ambon.
Dalam sejarahnya, perang Saparua ini berawal karena pada awal abad 19 kawasan Maluku kembali berada di bawah kekuasaan Belanda setelah Inggris menandatangani perjanjian traktat London dengan menyerahkan wilayah kekuasaan Indonesia kepada Belanda. Tetapi, pendudukan kembali Belanda di Maluku, justru membawa banyak masalah dan kesengsaraan bagi rakyat Maluku.
Beberapa tindakan semena-mena dari kolonial Hindia Belanda yang menyengsarakan masyarakat Maluku seperti adanya tindakan monopoli perdagangan rempah-rempah yang dilakukan Belanda melalui pelayaran Hongi di Maluku. Disamping itu, timbulnya kesengsaraan Maluku karena kebijakan penyerahan wajib berupa penyerahan ikan asin, kopi dan hasil laut lainnya kepada Belanda. Serta, sikap Residen Saparua yang memberlakukan masyarakat Maluku dengan sewenang-wenang.
Oleh karena itu, rakyat Maluku khususnya masyarakat Saparua sepakat untuk melakukan perlawanan di bawah komando Thomas Matulessy atau lebih dikenal sebagai Kapiten Pattimura. Bahkan, peperangan ini juga diikuti oleh seorang wanita pemberani bernama Christina Martha Tiahahu, dia adalah seorang anak dari Paulus Tiahau yang merupakan teman dari Kapiten Pattimura.
(Baca juga: Sejarah Perang Gerilya di Indonesia)
Pada 16 Mei 1817, operasi penyerangan pos-pos dan benteng Belanda di Saparua dimulai oleh Kapiten Pattimura dan pasukannya. Dibawah Komando Kapiten Pattimura dalam perang Saparua, Belanda dapat dikalahkan dan merebutkan benteng Duurstede atau benteng pertahanan Belanda dan menewaskan kepala Residen Saparua bernama van den Berg beserta pasukannya.
Namun, pihak Belanda tidak tinggal diam dan terus berupaya untuk merebut kembali benteng Duurstede dengan mendatangkan bantuan dari Ambon pada 20 Mei 1817. Dengan kekuataan lebih dari 200 prajurit di bawah pimpinan Mayor Beetjes menyerang Pattimura dan pasukannya di Saparua, namun pertempuran ini dapat digagalkan oleh Pattimura dan pasukannya.
Perlawanan rakyat Maluku terus berlangsung, namun setelah Belanda mendapatkan bala bantuan dari Batavia perjuangan Kapiten Pattimura harus berakhir dan mengalami kekalahan. Setelah kalah perang, pada tahun 1817 Kapiten Pattimura beserta tiga anak buahnya ditangkap dan dihukum gantung di Benteng Niuew Victoria. Hal tersebut menandai berakhirnya perlawanan rakyat Maluku terhadap Belanda.