Zaman praaksara di Indonesia ditandai oleh kehadiran beberapa jenis manusia purba, diantaranya Homo. Fosil manusia purba ini ditemukan di sepanjang Lembah Bengawan Solo, yakni di sekitar Tulungagung, NGawi, dan Ngandong. Penemunya antara lain Van Rietschoten, Ter Haar dan Oppennoorth, dalam penelitian terpisah antara tahun 1889 sampai 1932. Nah, Homo ini ini terdiri dari banyak jenis lho, apa saja ya?
Untuk diketahui, Homo sendiri pada dasarnya diambil dari bahasa latin yang berarti “manusia”. Disebut demikian karena jenis manusia purba yang satu ini merupakan yang paling maju. Kemampuan berpikirnya pun di atas Meganthropus dan Pithecanthropus.
Kemampuan berpikir Homo yang lebih baik ditunjukkan dari temuan fosil artefak berupa perkakas dan peralatan lain di sekitar foil manusia purba tersebut. Berarti, homo sudah mampu membuat alat-alat untuk menunjang kehidupannya.
Berdasarkan letak temuan fosilnya, Homo di Indonesia dibagi menjadi 3 jenis, termasuk Homo Wajakensis, Homo Soloensis, dan Homo Floresiensis. Apa yang membedakan?
Homo Wajakensis
Fosil manusia purba ini ditemukan oleh van Rietschoten di Wajak, Tulungagung pada tahun 1889. Temuan ini kemudian diteliti oleh Dr. Eugene Dubois. Fosil ini diberi nama Homo Wajakensis yang berarti manusia dari Wajak.
(Baca juga: Menelusuri Situs Manusia Purba di Indonesia)
Homo Wajakensis termasuk ras yang sulit ditemukan karena memiliki ciri-ciri campuran ras Mongoloid dan Austromelanosoid. Manusia purba ini mulai tinggal di Indonesia sekitar 40.000 tahun yang lalu, atau Kala Pleistosen Akhir.
Homo Soloensis
Fosil manusia purba ini ditemukan di dua terpisah, tapi sama-sama di Lembah Bengawan Solo, pada tahun 1931 sampai 1933. Koleksi fosil yang satu ditemukan oleh von Koenigswald di Ngandong. Koleksi fosil yang lain ditemukan oleh C. Ter Haar bersama Ir. Oppenoorth di Sambungmacan, Sragen. Fosil ini diberi nama bersama Homo Soloensis, yang berarti manusia dari (Lembah Bengawan) Solo.
Seperti jenis homo lainnya, Homo Soloensis diperkirakan hidup di Kala Pleistosen akhir. Kemudian, dari ciri-ciri fisiknya, von Koenigswald menyimpulkan bahwa manusia purba ini merupakan evolusi dari Pithecanthropus Robustus.
Homo Floresiensis
Peninggalan manusia purba ini ditemukan pada tahun 2003 di Gua Liang Bua, Flores (NTT). Penemunya adalah tim yang terdiri atas para arkelog Indonesia dan Australia.
Hasil temuan berupa sembilan kerangka tidak lengkap yang belum membatu, tetapi masih lembab dan rapuh. Manusia purba itu dinamakan Homo Floresiensis, yang berarti manusia dari Flores.
Dibandingkan Homo lainnya, Homo Floresiensis mempunyai keunikan tersendiri. Tingginya hanya 1 meter, dengan volume otak hanyah 380 cc. Pengkerdilan terjadi kemungkinan karena proses evolusi menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan setempat.