Penelitian sejarah merupakan bagian dari kegiatan pengumpulan dan evaluasi data secara sistematis. Dimana data tersebut terfokus pada kejadian masa lalu yang memenuhi kualifikasi sebagai peristiwa sejarah. Untuk memulai penelitian sejarah, seorang peneliti perlu menentukan topik, kemudian mulai mengumpulkan data, dan akhirnya membuat interpretasi.
Interpretasi dalam penelitian sejarah bisa diartikan sebagai kegiatan menafsirkan sumber-sumber yang telah diverifikasi. Kegiatan itu memuat tindakan mengartikan, menjelaskan, dan menelusuri hubungan satu sama lain.
Interpretasi sejarah sering kali disebut juga analisis sejarah. Dengan analisis, peneliti mencoba menyimpulkan fakta sejarah berdasarkan informasi dari sumber yang diperoleh. Fakta itu bisa tersurat, namun sering kali tersirat.
Hasil yang diharapkan dari interpretasi adalah rekonstruksi sejarah. Artinya, berdasarkan sumber-sumber yang ada, peneliti memiliki gambaran tentang peristiwa sebenarnya yang terjadi pada saat itu. Gambaran sendiri harus memuat unsur 5W+1H.
Interpretasi juga harus logis, sistematis dan ilmiah. Untuk itu, biasanya peneliti menggunakan teori-teori dari ilmu-ilmu sosial. Misalnya, kecenderungan isi prasasti yang berfokus pada raja dapat dijelaskan dengan Sosiologi mengenai status sosial dalam konteks masyarakat monarki Hindu-Budha. Dengan penggunaan ilmu sosial seperti ini, diharapkan penulisan sejarah akan lebih obyektif.
Baca juga: Bentuk Penelitian Sejarah, Ada Apa Saja?
Meskipun hadirnya unsur subjektivitas ada kalanya menjadi satu hal yang sulit dihindari. Pasalnya peneliti tetaplah seorang manusia yang memiliki pilihan dan pertimbangan. Subjektivitas muncul karena peneliti sejarah memiliki pandangan tersendiri terhadap sumber-sumber sejarah yang diperolehnya. Sumber yang sama bahkan bisa mendatangkan interpretasi yang berbeda.
Tingkat kesulitan interpretasi sumber sejarah antara lain ditentukan oleh usia sumber itu. Dimana semakin tua suatu sumber (ratusan atau ribuan tahun), maka akan semakin sulit pula diinterpretasi. Salah satu penyebabnya adalah pola pikir yang jauh berbeda sehingga menghasilkan gaya bahasa yang berbeda pula.
Namun, tak dimungkiri ada juga simbol yang bermakna tetap sama secara universal. Misalnya cap tangan disertai tanda tangan di Grauman Chinese Theatre Hollywood, AS. Hal ini mengingatkan kita pada cap kaki dengan tulisan Pallawa pada prasasti Ciaruteum. (Cap kaki dan tangan merupakan simbol identitas dan legitimasi).