Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak akan terlepas dengan adanya kalimat percakapan. Kalimat merupakan satuan bahasa terkecil yang digunakan untuk menyampaikan ide atau gagasan. Ada begitu banyak jenis kalimat yang digunakan dalam Bahasa Indonesia, salah satunya adalah kalimat baku.
Kalimat baku adalah kalimat yang secara efektif dapat dipakai untuk menyampaikan gagasan secara tepat dan menggunakan kata-kata baku.
Secara umum, ini lebih merujuk kepada bahasa formal, dimana penggunaannya kerap dilakukan untuk kegiatan resmi maupun akademis seperti menulis surat resmi, surat kabar atau koran, tayangan berita, dan banyak lagi. Sementara kalimat tidak baku, kebalikannya. Lebih sering digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Lantas, bagaimana caranya untuk membedakan antara kalimat baku dan tidak baku?
Ada beberapa ciri yang dimiliki kalimat baku, diantaranya memiliki tanda baca yang benar; ejaan yang benar; struktur bahasa yang tepat; menggunakan huruf kapital dengan tepat; menyampaikan gagasannya dengan baik atau tidak ambigu; dan tidak menggunakan pemborosan kata.
Baca juga: Apa yang Dimaksud dengan Kalimat Efektif?
Berikut ini adalah beberapa contoh kalimat baku dan tidak baku:
1. Kadua anak itu saling maaf-memaafkan setelah dilerai oleh ibu guru. (tidak baku)
Kedua anak itu saling memaafkan setelah dilerai oleh ibu guru . (baku)
2. Andika membantu Rini kemudian diantarkannya pulang. (tidak baku)
Andika membantu Rini kemudian mengantarkannya pulang. (baku)
Bahasa Baku dan Fungsinya
Bicara tentang kalimat baku, tentu erat kaitannya dengan bahasa baku. Bahasa baku sendiri bisa diartikan sebagai bentuk bahasa yang telah mengalami proses standardisasi, yaitu tahap menegakkan tata bahasa dan kamus normatif. Bahasa ini diterima di masyarakat sebagai peranti komunikasi publik dan formal, seperti dalam perundang-undangan, surat menyurat, dan rapat resmi.
Selain itu, ada juga pengertian bahwa bahasa baku adalah bahasa yang mempunyai setidaknya satu varietas standar. Menurut definisi ini, istilah bahasa baku merujuk kepada keseluruhan bahasa itu, bukan kepada bentuk bakunya sendiri.
Paul L. Garvin yang mencerminkan tradisi Aliran Praha membedakan lima fungsi bahasa/kata baku, meliputi penyatu, pemisah, pemberi prestise, partisipatif, dan kerangka acuan.
Penyatu memungkinkan komunikasi mudah di dalam suatu komunitas bahasa dan membina identitas kultural – politik komunitas tersebut; Pemisah mengontraskan suatu komunitas bahasa dengan yang lain, sambil membangun ikatan antara bahasawan yang menggunakan vatietas bahasa yang berbeda-beda;
Pemberi prestise bertindak sebagai pembawa gengsi sosial dan kultural, baik untuk seluruh komunitas maupun bagi seorang individu yang menuturkannya; Partisipatif memungkinkan para penutur bahasa untuk mendapatkan manfaat dari penguasaan bahasa baku (mobilitas sosial, kemungkinan berpartisipasi dalam wacana publik); sedangkan Kerangka acuan berfungsi sebagai patokan untuk penilaian praktik kebahasaan.