Sejarah suatu bangsa diukur dari masyarakatnya mengembangkan peradaban. Dari peradaban itu akan muncul karya kreatif manusia dalam bentuk kebudayaan. Salah satunya pada zaman megalitikum yang menghasilkan banyak kebudayaan, diantaranya Waruga. Apa itu?
Waruga adalah kubur batu kuno berbentuk peti dengan lempeng batu yang disusun pembatas, dimana tutupnya berbentuk atap rumah. Peninggalan kubur batu ini banyak ditemukan di Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara.
Keberadaan Waruga ini merupakan bukti kebudayaan masa lampau, khususnya pada zaman megalitikum yang berlangsung sekitar 1500 Sebelum Masehi (SM). Fungsi dari bangunan ini adalah sebagai makam, dimana orang Minahasa diduga telah menggunakannya sejak abad ke 10.
Pada awalnya, orang Minahasa yang meninggal dibungkus dengan woka atau sejenis daun palem. Dalam perkembangannya mereka mulai menggunakan kubur batu ini, dimana jenazah akan diletakkan dalam posisi menghadap utara karena percaya nenek moyangnya berasal dari utara.
Sejarah Waruga
Dilansir dari laman Wikipedia, Waruga berasal dari bahasa Tombulu yaitu kata wale (rumah) dan ruga (hancur/terbongkar). Penamaan ini didasari oleh bentuknya yang menyerupai rumah dan fungsinya sebagai rumah penghancur jasad.
Baca juga: Apa yang Kamu Ketahui Tentang Menhir?
Waruga terbagi menjadi ukuran kecil, sedang, dan besar. Ukuran kecilnya adalah 50 cm x 50 cm x 100 cm. Untuk ukuran sedang adalah 100 cm x 100 cm x 150 cm. Sementara ukuran besar adalah 150 cm x 100 cm x 145 cm.
Keberadaan kubur batu ini mewakili kepercayaan masyarakat Minahasa pada masa lalu, yaitu animisme dan dinamisme. Selain itu, bangunan ini juga menjadi perlambang seni masyarakat Minahasa baik secara sosial maupun individu.
Waruga memiliki ornamen yang beragam dengan motif utamanya yaitu manusia, tanaman, hewan, dan bentuk geometri. Ornamen yang ada pada tiap Waruga digunakan sebagai pengusir roh jahat, simbol kemakmuran atau pekerjaan dari jenazah semasa hidupnya.
Disamping itu, kualitas ukiran dari Waruha ditentukan oleh jasa orang yang dikubur di dalamnya. Semakin berjasa seseorang maka semakin bagus ukiran yang dibuatkan untuknya.
Sayangnya, penggunaan waruga mulai berakhir bersamaan dengan beralihnya kepercayaan sebagian besar masyarakat Minahasa ke agama Kristen. Tepatnya pada awal abad ke 20 Masehi Waruga tidak lagi digunakan sebagai alat untuk mengubur jenazah tetapi lebih dimanfaatkan sebagai obyek wisata dan cagar budaya.