Penjajahan yang dilakukan oleh negara asing di Indonesia telah mempengaruhi banyak hal, salah satunya adalah sistem ekonomi nasional. Apalagi di awal kemerdekaan, perekonomian Indonesia sangat kacau dan jauh dari mapan.
Sistem ekonomi kolonial (penjajah) telah lama berada di Indonesia dan tidak mudah bagi pemerintah untuk menggantinya dengan sistem ekonomi yang baru, yang saat itu ingin mengembangkan struktur perekonomian nasional. Penggantian sistem ekonomi nasional tersebut dimaksudkan untuk menjadikan negara Indonesia, negara yang tidak bergantung dari peninggalan negara penjajah.
Namun, pergantian sistem ekonomi nasional ini mengalami banyak hambatan terutama karena struktur perekonomian masa kolonial yang banyak ditopang oleh perusahaan asing sehingga pelaksanaan peningkatan ekonomi bagi pribumi agak sulit. Oleh karenanya upaya peningkatan perekonomian secara merata dan menyeluruh perlu dilaksanakan.
Soemitro Djojohadikusumo berpendapat bahwa pembangunan perekonomian Indonesia perlu mengarah pada pembangunan ekonomi baru dengan meningkatkan perusahaan kelas menengah yang mampu menopang dan meningkatkan perekonomian nasional. Sayangnya, dalam pelaksanaannya banyak dijumpai penyalahgunaan sehingga aplikasinya kurang maksimal dan membuat banyak pengusaha mengalami kerugian.
Kendati demikian, pemerintah terus mengembangkan upaya pembangunan perekonomian Indonesia yang diwujudkan dalam program sebuah perencanaan pada periode lima tahun kedepan yang diterapkan pada tahun 1956-1960. Upaya ini bertujuan untuk mendorong terbentuknya perusahaan-perusahaan baru yang termasuk industri besar dan bergerak dalam sektor publik yang diharapkan mampu meningkatkan perekonomian nasional.
(Baca juga:
Selain itu, ada upaya pembangunan sistem ekonomi nasional dengan cara nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia. Hal ini dilakukan dengan pencabutan hak milik perusahaan Belanda atau negara lainnya dan menjadikan perusahaan tersebut sebagai milik Republik Indonesia.
Sistem Ekonomi Liberal
Setelah pengakuan kemerdekaan yang dikeluarkan Belanda terhadap Indonesia, sayangnya perekonomian nasional terbebani oleh hutang Belanda yang harus ditanggung oleh pemerintah Indonesia yang menyebabkan permasalahan jangka pendek maupun panjang bagi Indonesia. Hal ini sebagai dampak dari penyepakatan ketentuan Konfrensi Meja Bundar (KMB).
Permasalahan jangka pendek meliputi banyaknya jumlah uang yang beredar serta peningkatan biaya hidup masyarakat. Sementara itu, permasalahan jangka panjang meliputi penambahan jumlah penduduk dengan kualitas hidup yang rendah. Bahkan, pemerintah mengalami defisit sampai Rp.5,1 miliar.
Pada masa pemerintahan Burhanuddin Harahap, Indonesia mengirim delegasi ke Belanda guna mengurusi permasalahan finansial di Indonesia. Pada 7 Januari 1956 melalui delegasi melakukan perundingan dengan pihak Belanda, dan isi dari rancangan perundingan yang diajukan pihak Indonesia terhadap Belanda antara lain :
- Pembatalan persetujuan finansial ekonomi yang berupa penanggungan hasil KMB.
- Hubungan finansial ekonomi antara Indonesia dan Belanda harus berdasarkan atas hubungan bilateral.
- Hubungan finansial ekonomi harus berdasar pada Undang-undang Nasional dan tidak terikat oleh perjanjian lain.
Rancangan yang diajukan Indonesia pada akhirnya ditolak oleh Belanda. Indonesia yang tidak terima pun secara sepihak mengembangkan rancangan finansial ekonominya sendiri dengan menetapkan pembubaran Uni Indonesia-Belanda pada 13 Februari 1956.
Uni Indonesia-Belanda sendiri merupakan sebuah organisasi yang mengatur hubungan konfederasi kerjasama Indonesia dan Belanda. Guna mengatasi masalah perekonomian tersebut, Biro Perancang Negara pada era cabinet Ali Sastroadjojo merancang rencana pembangunan jangka panjang.